Jayapura,PapuaLink.Id – Koordinator Litigasi dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Emanuel Gobay meminta Kapolda Papua dan Kapolresta Jayapura Kota untuk menghentikan praktek kriminalisasi terhadap 9 orang mahasiswa yang ditahan sebagai pelaku aksi mimbar bebas di Kampus USTJ, beberapa waktu lalu.
Emanuel menegaskan implementasi mekanisme restoratif justice segera dilakukan demi menyelamatkan jak atas pendidikan mahasiswa USTJ.
Pada prinsipnya pemberitahuan secara tertulis tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (4), UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
“Sehingga kehadiran Kepolisian Resort Kota Jayapura dilingkungan kampus USTJ pada tanggal 10 November 2022 mengunakan pendekatan penanganan aksi anti huru hara sesuai Perkap Nomor 2 Tahun 2019 tentang penindakan huru hara atau penanganan aksi anarkis sesuai prosedur tetap Kapolri Nomor : Protap / 1 / X / 2010 tentang penanggulangan nnarki dipertanyakan legalitasnya,” tegas Imanuel dalam rilisnya, Senin (14/11/2022).
Atas dasar itu, lanjut dia, apabila alasannya hanya karena adanya dua perangkat aksi mimbar bebas secara damai yang bermotif Bintang Kejora, maka semestinya pendekatannya dilakukan secara humanis agar dapat mencegah terjadinya tindakan kekerasan baik oleh aparat kepolisian kepada masa aksi maupun sebaliknya oleh masa aksi terhadap aparat esesuai dengan ketentuan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang implementasi standar dan pokok HAM dalam tugas-tugas Polri.
“Pendekatan humanis dimaksud juga sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah yang tidak mengatur perihal tentang apabila orang atau sekelompok orang yang mengelar aksi demostrasi mengunakan bendera bermotif lambing separatis wajib ditangkap atau dibubarkan secara paksa,” terang Emanuel.
“Sehingga fakta pendekatan penanganan aksi huru hara dan aksi anarkis dalam wilayah kampus USTJ jelas-jelas bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 junto Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 junto PP Nomor 77 Tahun 2007 yang melahirkan temuan tindakan menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur pada Pasal 6 huruf q, PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin anggota Polri,” imbuhnya.
Pasca penerapan Perkap Nomor 2 Tahun 2019 tentang penindakan huru hara atau penanganan aksi anarkis sesuai protap rosedur Kapolri Nomor : Protap / 1 / X / 2010 tentang penanggulangan anarki dalam halaman Kampus USTJ terhadap mahasiswa Papua yang mengelar mimbar bebass secara damai.
Dengan begitu menurut Emanuel,
telah menggusik kegiatan ilmiah di lingkungan Kampus USTJ selanjutnya pihak Polresta Jayapura Kota menahan dan menahan 15 orang mahasiswa yaitu Yohanes Logo, Petrus Hubi, Yosep Ernesto Matuan, Stevanus Enembe, Yohanes Mabel, Devio Tekege, Dani Mabel, Manase Wenda, Davidson Wenda, Andrias Helembo, Tehys Sembay, Newius Maling, Rein Klafle, Edison Wombi danTaolin Iqnatius di Mapolresta Jayapura.
Pada perkembangannya, pihak Polresta Jayapura Kota mengeluarkan atau membebaskan 6 orang mahasiswa pada pukul 23:00 WIT tanggal 11 November 2022 lewat dari ketentuan 1 x 24 jam sebagaimana diatur pada Pasal 17 junto Pasal 19 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981).
Sementara 9 orang mahasiswa masih tetap ditahan dan dinaikan statusnya menjadi tersangka dengan dua tuduhan yaitu dugaan tindak pidana melawan petugas sebagaimana diatur pada Pasal 214 KUHP junto 212 KUHP yang dituduhkan kepada 6 orang mahasiswa berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/ A / 1993 / XI / 2022 / SPKT.SATRESKRIM / POLRESTA JAYAPURA KOTA / POLDA PAPUA tertanggal 10 November 2022, dan tuduhan kedus yakni dugaan tindak pidana makar sebagaimana diatur pada Pasal 106 KUHP junto Pasal 110 KUHP yang dituduhkan kepada 3 (tiga) orang berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/A/1992/XI/2022/SPKT.SATRESKRIM/POLRESTA JAYAPURA KOTA/POLDA PAPUA tertanggal 10 November 2022.
“Pada prinsipnya tuduhan Pasal 214 KUHP junto 212 KUHP maupun Pasal 106 KUHP junto Pasal 110 KUHP kepada ?ahasiswa Papua di atas secara langsung menimbulkan pertanyaan tersendiri. Sebab berdasarkan fakta ada beberapa orang mahasiswa yang diangkut aparat Polresta Jayapura, ada yang bagian jidatnya bengkak dan bibirkan terluka yang diduga akibat tindakan penganiayaan (Pasal 351 KUHP) atau tindakan pengeroyokan (Pasal 170 KUHP) saat penangkapan,” jelas Emanuel.
Selain itu, menyangkut tuduhan Pasal 106 KUHP junto Pasal 110 KUHP berdasarkan pengalaman ada satu kasus yang awalnya dituduhkan makar hanya karena dalam aksi demostrasi mengunakan atribu Bintang Kejora, namun akhirnya Pengadilan Tinggi memutuskan bebas sebagaimana dalam Putusan Perkara Nomor : 27/PID/2022/PT JAP.
Atas dasar fakta objektif adanya mahasiswa yang menjadi korban kekerasan dan fakta yurisprudensi putusan bebas kasus makar di atas secara langsung menunjukan bahwa Tuduhan dugaan tindak pidana melawan petugas sebagaimana diatur pada Pasal 214 KUHP junto 212 KUHP yang dituduhkan kepada 6 orang mahasiswa dan dugaan tindak pidana makar sebagaimana diatur pada Pasal 106 KUHP junto Pasal 110 KUHP yang dituduhkan kepada 3 (tiga) orang merupakan bukti adanya upaya sistematik dan struktural untuk menyembunyikan tindakan pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polresta Jayapura Kota di dalam lingkungan kampus USTJ.
“Berdasarkan fakta diatas apabila penyidik Polresta Jayapura bertindak secara objektif maka terhadap fakta adanya dugaan tindakan penganiayaan (Pasal 351 KUHP) atau tindakan pengeroyokan (Pasal 170 KUHP) yang dialami oleh beberapa mahasiswa yang diangkut oleh aparat semestinya dilakukan penegakah hukum,”.
Selain itu, terhadap penerapan Perkap Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru Hara atau penanganan aksi anarkis sesuai Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : Protap / 1 / X / 2010 Tentang Penanggulangan Anarki dalam wilayah Kampus USTJ padahal ada ketentuan “Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (4), UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang jelas menunjukan fakta tindakan menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur pada Pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri sewajibnya dilakukan penegakan hukum.
Melalui fakta penegakan hukum hanya dilakukan terhadap mahasiswa pelaku aksi mimbar bebas dalam lingkungan kampus USTJ tanpa memproses oknum anggota kepolisian yang melakukan dugaan tindak pidana serta pelanggaran kode etik kepolisian.
Maka secara langsung menunjukan adanya temuan pelanggaran prinsip Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum” sebagaimana diatur pada Pasal 28d ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan uraian diatas, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum 9 orang mahasiswa Papua menegaskan kepada :
- Kapolda Papua Cq Kapolresta Jayapura segera hentikan Praktek Kriminalisasi Terhadap 9 Orang Mahasiswa Mahasiswa Papua;
- Kapolda Papua Cq Kapolresta Jayapura segera terapkan Surat Edaran Kapolri tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana pada Kasus 9 Orang Mahasiswa Mahasiswa Papua demi mewujudkan prinsip perlakuan yang sama di depan hokum dan Hak Atas Pendidikan;
- Kapolda Papua Cq Kapolresta Jayapura Dilarang Melindungi oknum polisi pelaku tindak pidana kepada Mahasiswa Papua dan Pelanggaran Kode Etik Polri di halaman Kampus USTJ. (Redaksi)