Jayapura,PapuaLink.Id – Anggota DPR Papua dari Fraksi Otsus, John Gobai mengatakan, orang Papua dalam hidupnya, hidup bersama komunitasnya artinya hidup bersama orang lain. Mereka mengedepankan hidup bersama sebagai mahluk sosial yang cirinya berbagi dengan sesama tidak individualis.
Kewenangan karena adanya Otonomi Khusus Papua telah memungkin anak anak asli Papua menduduki jabatan jabatan baik eselon II, III dan Posisi Pimpinam daerah baik Bupati dan Gubernur dan dapat memanfaatkan dana yang untuk mengelola dana sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan dinamika dalam masyarakat.
Adanya pemekaran daerah juga telah memungkin hadirnya dana yang besar didaerah-daerah pemekaran yang dikelola sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan dinamika dalam masyarakat.
Bersamaan dengan adanya banyak dana ini juga telah mendorong masyarakat untuk membuat proposal untuk kegiatan produktif ada juga fiktif.
“Nah, dengan adanya kebijakan-kebijakan ini telah membuat masyarakat untuk menggantungkan harapan kepada dana pemerintah, karena masyarakat mengidentikkan pemerintah dengan pemimpin tradisional yang kewajibannya berbagi dan hadir dengan adanya dana (uang),” jelasnya
Fenomena kehidupan PNS dan Pejabat Pemerintah di Papua
John masih ingat betul bahwa ayahnya pernah berkata “Saat saya punya jabatan banyak orang datang ke rumah saya, tetapi setelah saya pensiun rumah ini sepi”. Ungkapan itu, menurutnya, mewakili apa yang dirasakan oleh mantan PNS dan pejabat pemerintah di seluruh tanah Papua, untuk menggambarkan apa yang pernah dirasakan dan sedang dirasakan, bagaimana mereka menjadi tumpuan harapan masyarakat,.
“Untuk memhami ini saya ingin memberikan sebuah fenomena umum. Tetapi menurut saya ini terjadi juga bagi pimpinan atau anggota komisi, LMA atau organisasi apa saja. Jika seorang diterima sebagai PNS, maka PNS itu akan mulai menjadi tumpuan harapan keluarganya, selanjutnya PNS ini diangkat sebagai pejabat eselon IV maka akan menjadi tumpuan harapan keluarga besarnya (keluarga dari mama dan bapanya),” sebutnya.
“Ketika eselon III maka akan menjadi harapan dari keluarga dikampung halamannya serta kampung dari istrinya, jika PNS ini menjadi eselon II maka dia akan menjadi tumpuan harapan dari orang dalam wilayah adatnya dan juga wilayah adat dari istrinya apalagi jika istrinya dari kabupaten lain maka dia akan menjadi tumpuan harapan dari masyarakat dari beberapa distrik dari dua kabupaten,” timpal John.
Apa lagi ketika seseorang menjadi bupati maka dia akan menjadi tumpuan harapan dari banyak orang dari berbagai kalangan masyarakat, sehingga pejabat pemerintah menjadi tumpuan harapan masyarakat di Papua.
Lanjut John, pengaruh budaya pada indikasi korupsi Manusia Papua dalam kesehariannya selalu berpegang pada nilai-nilai adat yang mengajarkan untuk mengasihi orang lain yang membutuhkan bantuan dan ajaran agama yang mengajarkan cinta kasih.
Dua hal ini selalu mewarnai kehidupan manusia papua siapapun dia, baik itu rakyat maupun pejabat pemerintah. Fenomena PNS yang saya gambarkan diatas adalah sebuah kenyataan yang terjadi di Papua, yang tak dapat dihindari oleh siapapun dia orangnya.
“Jika kita menganalisa fenomena di atas dan nilai-nilai adat dan ajaran agama diatas maka yang namanya tindak pidana korupsi tidak akan terhindar banyaknya masyarakat papua yang masih hidup dibawah garis kemiskinan karena ketergantungan pada uang rupiah padahal jika uang tradisional yang dalam bahasa moni disebut kigi (kulit kerang) masyarakat Papua mempunyai jumlah yang banyak,” terang John.
Dalam budaya dahulu para ondoafi, mananwir, sonowi, ap kain, nagawan, kayapak dan Tonowi adalah tumpuan harapan warga mereka mempunyai kewajiban memberikan makan, membantu pihak yang miskin, memberikan modal berupa babi, sehingga secara tradisi kesejahteraan rakyatnya dapat di penuhi oleh mereka.
Sekarang peranan itu sedang dimainkan oleh PNS dan Pejabat Pemerintah orang Papua yang baik hatinya, sehingga Tipikor tidak dapat dihindari, apalagi pejabat yang bertugas didaerah konflik seperti; Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Mimika dan daerah lainnya. Menurut saya kondisi yang saya gambarkan diatas akan dialami oleh siapapun dia masyarakat papua, baik mahasiswa, para pencari kerja maupun CPNS.
“Kita tidak akan keluar dari fenomena ini, jangan kita katakan saya tidak, saya pasti akan lakukan sesuatu tanpa adanya tipikor fenomena ini haruslah dipahami juga oleh LSM yang sedang advokasi korupsi di Papua,” bebernya.
Dengan fenomena di atas dan juga adanya kebijakan pemerintah yang kadang-kadang dikeluarkan tanpa perencanaan dan persiapan yang sistematis ini maka menurut John, dalam rangka mengatasi hal ini diperlukan adanya konsep pemberdayaan ekonomi yang benar-benar dapat memutuskan mata rantai ketergantungan rakyat sehingga masyarakat dapat mandiri dan sejahtera yang melibatkan Bank Papua, agar bank ini menjadi banknya rakyat papua bukan hanya pengusaha/ kontraktor Papua.
“Yang kedua, perlu ada pengaturan kependudukan untuk membatasi datangnya orang dari kampung ke kota yang hanya akan menciptakan ketergantungan dan menjadi beban keluarga PNS di kota,” sarannya.
Ketiga, perlu adanya pos dana bantuan dalam APBD yang diberikan kepada pimpinan SKPD dan Pimpinan Daerah yang tidak perlu di audit sehingga dapat digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan sebagai pelaksanaan nilai adat dan ajaran agama, Hal ini perlu diusulkan oleh Gubernur dan Bupati di Tanah Papua kepada Pemerintah Pusat.
“Untuk yang keempat, perlu ada pendidikan wirausaha bagi PNS Papua agar dapat membuka usaha sebagai sumber pendapatan selain gaji. Dan yang jelima, perlu ada kesepakatan kegiatan yang perlu dan tidak perlu menjadi fokus penegak hukum untuk mengincar pelaku tikpikor contohnya proyek fisik untuk kepentingan umun perlu menjadi perhatian tetapi proyek-proyek non fisik tidak perlu jadi perhatian pelaku penegak hukum,” tutup John. (Redaksi)